Selasa, 03 April 2012

Masjid Pekojan Saksi Persahabatan Indonesia-Arab

Bagi masyarakat yang melintas di sepanjang Jl Pekojan Raya, Tambora, Jakarta Barat mungkin banyak yang tidak tahu jika pada sisi sebelah kiri jalan tersebut terdapat sebuah masjid tua yang mengandung nilai sejarah tinggi. Ya, sebab masjid di pemukiman padat penduduk itu tidak hanya dikenal sebagai tempat penyebaran ajaran Islam saat zaman kolonial hingga saat ini, tapi juga sebagai saksi sejarah persahabatan bangsa Indonesia dengan bangsa Timur Tengah, khususnya Arab. Tak heran jika kawasan Pekojan tempat masjid itu berada sering disebut sebagai Kampung Arab.

Masjid berlantai dua seluas 300 meter persegi itu, memang tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan bangunan masjid lain pada umumnya. Bahkan, saat ini lantai satu pada masjid itu juga digunakan untuk tempat berjualan minyak wangi.

Habib Ahmad Assegaf (55) salah seorang yang dipercaya mengurus masjid tersebut menjelaskan, masjid yang berada di lokasi hunian padat penduduk tepatnya dekat Muara Angke itu dibangun sejak tahun 1214 H (1829) oleh pedagang berkebangsaan dari Yaman. Saat itu mereka memang tidak hanya melakukan aktivitas dagang semata, tapi juga sambil melakukan syiar Islam.

Kemudian diperluas oleh Syeikh Said Naum seorang kapiten Arab yang memiliki banyak kapal dagang dan tanah. “Jadi maksud dibangunnya masjid ini yang oleh warga sekitar kadang juga disebut Langgar Tinggi, adalah untuk melakukan syiar Islam bangsa Yaman yang datang ke Pekojan yang awalnya hanya berdagang,” ungkap Ahmad.

Ahmad menceritakan, saat pemerintahan kolonial Belanda, khusus bangsa Arab yang datang ke Batavia diwajibkan singgah ke Pekojan. Selanjutnya setelah itu baru diperbolehkan pergi ke tempat lain hingga akhirnya wilayah Pekojan boleh dikatakan menjadi tempat singgahnya bangsa Arab (Yaman Selatan) untuk berdagang sekaligus melakukan syiar Islam.

Saat ini keberadaan masjid masih terawat dengan baik dan lantai atas masih digunakan untuk tempat ibadah. Sedangkan lantai bawah yang dulunya digunakan untuk penginapan pedagang bangsa Arab yang saat itu selalu datang dalam jumlah sangat banyak, kini dijadikan sebagai tempat tinggal dan tempat usaha minyak wangi yang juga sudah berlangsung sejak pemerintahan kolonial Belanda.

“Makanya dulu boleh dibilang Pekojan merupakan tempat berkumpulnya para pedagang Arab. Dari dulu sampai sekarang Pekojan terkenal dengan sebutan Kampung Arab,” ujar Ahmad.

Namun, meski ada perubahan fungsi pada lantai bawah, Ahmad mengatakan warna dan bentuk masjid 90 persen masih asli. Itu bisa dilihat dari bahan baku kayunya yang terbuat dari kayu jati Belanda dan pondasi bangunan masjid yang berasal dari batu candi. Sedangkan arsitektur masjid berwarna dominan putih merupakan campuran antara unsur Cina, Portugis dan Arab.

Pengaruh Cina bisa dilihat dari beberapa ukiran di dinding masjid dan warna kayu yang aslinya berwarna merah seperti warna kelenteng. Pengaruh  Portugis terlihat dari pilar-pilar penopang dan pengaruh Arab dari pintu yang berbentuk elips. Namun, kondisi lingkungan yang kini rawan banjir membuat lantai satu masjid yang juga sebagai tempat mengambil air wudhu ditinggikan satu meter. Tapi, tetap tidak mengurangi fungsinya sebagai tempat syiar Islam sekaligus menyimpan kenangan persentuhan banga Arab dengan bangsa Indonesia, bahkan hingga ke jenjang pernikahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar