Minggu, 11 Mei 2014

Asal Usul dan Sejarah Tugu Monas

Sebagai ikon kota Jakarta, Tugu Monumen Nasional atau Monas sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia. Sebab, selain karena terdapat di pusat Ibu kota, Monas juga merupakan salah satu lokasi wisata sejarah yang banyak dikunjungi wisatawan baik dari negeri sendiri maupun mancanegara. Namun siapa sangka, jika masih banyak warga ibu kota yang belum mengetahui sejarah dan asal usul pembangunan Tugu Monas di masa kepemimpinan Presiden RI pertama Ir Soekarno.



Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Terdapat 51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad. Sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tapi sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Silaban untuk menunjukkan rancangannya kepada Sukarno. Akan tetapi Sukarno kurang menyukai rancangan itu dan ia menginginkan monumen itu berbentuk lingga dan yoni. Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik. Sukarno kemudian meminta arsitek R.M. Soedarsono untuk melanjutkan rancangan itu. Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu

Pada mulanya, Tugu yang bermakna Peringatan Nasional ini dibangun di areal seluas 80 hektar di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Tugu ini diarsiteki oleh 3 orang arsitek Indonesia yakni Friedrich Silaban, R. M. Soedarsono dan dan Ir. Rooseno. Pembangunannya  dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 dan berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama, kurun 1961/1962 - 1964/1965 dimulai dengan dimulainya secara resmi pembangunan dimana Ir. Soekarno secara seremonial menancapkan pasak beton pertama. Total 284 pasak beton digunakan sebagai fondasi bangunan. Sebanyak 360 pasak bumi ditanamkan untuk fondasi museum sejarah nasional. Keseluruhan pemancangan fondasi rampung pada bulan Maret 1962. Dinding museum di dasar bangunan selesai pada bulan Oktober. Pembangunan obelisk kemudian dimulai dan akhirnya rampung pada bulan Agustus 1963.

Pembangunan tahap kedua berlangsung pada kurun 1966 hingga 1968 akibat terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G-30-S/PKI) dan upaya kudeta, tahap ini sempat tertunda. Tahap akhir berlangsung pada tahun 1969-1976 dengan menambahkan diorama pada museum sejarah. Meskipun pembangunan telah rampung, masalah masih saja terjadi, antara lain kebocoran air yang menggenangi museum. Monumen secara resmi dibuka untuk umum dan diresmikan pada tanggal 12 Juli 1975 oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto. Lokasi pembangunan monumen ini dikenal dengan nama Medan Merdeka. Lapangan Monas mengalami lima kali penggantian nama yaitu Lapangan Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas.

Tujuan dari dibuatnya tugu setinggi 132 meter (433 kaki) itu yakni untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Oleh sebab itulah Tugu Monas dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala. Dengan begitu dapat membangkitkan serta menjadi inspirasi dan semangat patriotisme bagi generasi saat ini dan mendatang.

Struktur Bangunan Monas

Tugu Monas yang menjulang tinggi dan melambangkan lingga (alu atau anatan) yang penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Semua pelataran cawan melambangkan Yoni (lumbung). Alu dan lumbung merupakan alat rumah tangga yang terdapat hampir di setiap rumah penduduk pribumi Indonesia.

Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 Kilogram. Lidah api atau obor ini sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Pelataran puncak dengan luas 11x11 dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Arah ke selatan berdiri dengan kokoh dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil berserakan. Bila menoleh ke Barat membentang Bandara Soekarno-Hatta yang setiap waktu terlihat pesawat lepas landas.

Dari pelataran puncak, 17 m lagi ke atas, terdapat lidah api, terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dan berdiameter 6 m, terdiri dari 77 bagian yang disatukan.

Pelataran puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang berarti melambangkan Bangsa Indonesia agar dalam berjuang tidak pernah surut sepanjang masa. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 m dan ruang museum sejarah 8 m. Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45x45 m, merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).

Pengunjung kawasan Monas, yang akan menaiki pelataran tugu puncak Monas atau museum, dapat melalui pintu masuk di seputar plaza taman Medan Merdeka, di bagian utara Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kudanya, terbuat dari perunggu seberat 8 ton.

Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral Honores, Dr Mario Bross di Indonesia. Melalui terowongan yang berada 3 m di bawah taman dan jalan silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung ke tugu puncak Monas yang berpagar "Bambu Kuning".

Landasan dasar Monas setinggi 3 m, di bawahnya terdapat ruang museum sejarah perjuangan nasional dengan ukuran luas 80x80 m, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang.

Pada keempat sisi ruangan terdapat 12 jendela peragaan yang mengabdikan peristiwa sejak zaman kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Keseluruhan dinding, tiang dan lantai berlapis marmer. Selain itu, ruang kemerdekaan berbentuk amphitheater yang terletak di dalam cawan tugu Monas, menggambarkan atribut peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kemerdekaan RI, bendera merah putih dan lambang negara dan pintu gapura yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. (*)

Masjid Al Atiq, Sisa Kejayaan Sultan Ageng Tirtayasa 

Posisinya yang tersembunyi dengan arsitektur yang sederhana membuat Masjid Al Atiq seperti luput dari perhatian masyarakat. Di balik bentuknya yang sederhana, masjid ini termasuk salah satu masjid yang memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap perkembangan penyebaran agama Islam di Jakarta. Masjid ini juga dulu kerap  menjadi tempat pengungsingan warga dan pasukan Jayakarta yang tengah berperang melawan VOC Belanda.


Jika diperhatikan seksama, tidak ada yang istimewa dari masjid yang berada di tengah permukiman dan jauh dari jalan besar ini. Lokasinya yang tersembunyi dari keramaian membuat masjid ini tidak terkenal di kalangan masyarakat luas. Masjid ini beralamat di Jalan Masjid I Nomor 3, Kelurahan Kampung Melayu Besar, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.



Ketua Takmir Masjid Al Atiq, H Ichwan Rasidi mengaku, sebenarnya tidak ada yang tahu pasti kapan tepatnya masjid ini dibangun. Namun dari para sesepuh kampung dan risalah yang ada di masjid ini, meyakini bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1632 M atau 1053 H. Nama Al Atiq sendiri diberikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1970-an. Secara harafiah, Al Atiq memiliki makna tertua.

Pembangunan masjid ini diperkirakan bersamaan dengan pembangunan masjid di Banten dan Karang Ampel, Jawa Tengah di mana kedua masjid tersebut dibangun karena peran Sultan Maulana Hasanuddin.

"Pendiri masjid ini adalah pasukan Sultan Ageng Tirtayasa yang tengah berperang melawan VOC. Dulunya masjid ini dibangun sebagai tempat istirahat sultan," kisah Ichwan.


Masjid yang letaknya persis di tepi Kali Ciliwung ini pun menguatkan indikasi kebenaran cerita tersebut. Menurutnya, pada zaman dahulu pergerakan tentara selalu saja memanfaatkan sungai yang berfungsi sebagai transportasi atau sumber minum para tentara.



Saat ini, bentuk fisik masjid ini telah mengalami beberapa perubahan karena pernah dilakukan beberapa kali pemugaran. Seperti pada tiang penyangga yang berada di tengah masjid dulunya terbuat dari kayu jati, saat ini digantikan dengan beton berlapis keramik/marmer.


Perombakan juga dilakukan pada bangunan masjid, di mana masjid dibangun menjadi dua lantai yang lebih modern, sedangkan pernak pernik asli dari masjid telah diserahkan ke Museum Sejarah Jakarta.

Namun, pemugaran tidak dilakukan pada seluruh bagian masjid. Komponen masjid yang masih dipertahankan ialah trisula penunjuk arah kiblat yang terletak di puncak menara masjid. Bentuk menara pun masih sama dengan saat pertama kali dibangun, yaitu berupa limas.


Sebelum dilakukan pemugaran, terdapat dua buah makam pengurus pertama masjid ini. Makam yang letaknya berada persis di samping mimbar atau tempat berdirinya imam ini tidak diketahui nama pengurus yang dimaksud. Namun setelah pemugaran, kedua makam dipindahkan.


Masjid ini juga menyimpan kisah mistis yang menarik, yaitu adanya tongkat khatib ajaib yang terletak di mimbar masjid. Tongkat tersebut merupakan benda pusaka peninggalan masjid. Kabarnya, tongkat tersebut ampuh menyembuhkan penyakit lewat ramuan yang diracik dari serpihan kayu pada tongkat itu. Kini, pengerikan tongkat kayu tersebut sudah dilarang oleh para pengurus masjid.