Minggu, 11 Mei 2014

Asal Usul dan Sejarah Tugu Monas

Sebagai ikon kota Jakarta, Tugu Monumen Nasional atau Monas sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia. Sebab, selain karena terdapat di pusat Ibu kota, Monas juga merupakan salah satu lokasi wisata sejarah yang banyak dikunjungi wisatawan baik dari negeri sendiri maupun mancanegara. Namun siapa sangka, jika masih banyak warga ibu kota yang belum mengetahui sejarah dan asal usul pembangunan Tugu Monas di masa kepemimpinan Presiden RI pertama Ir Soekarno.



Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Terdapat 51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad. Sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tapi sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Silaban untuk menunjukkan rancangannya kepada Sukarno. Akan tetapi Sukarno kurang menyukai rancangan itu dan ia menginginkan monumen itu berbentuk lingga dan yoni. Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik. Sukarno kemudian meminta arsitek R.M. Soedarsono untuk melanjutkan rancangan itu. Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu

Pada mulanya, Tugu yang bermakna Peringatan Nasional ini dibangun di areal seluas 80 hektar di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Tugu ini diarsiteki oleh 3 orang arsitek Indonesia yakni Friedrich Silaban, R. M. Soedarsono dan dan Ir. Rooseno. Pembangunannya  dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 dan berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama, kurun 1961/1962 - 1964/1965 dimulai dengan dimulainya secara resmi pembangunan dimana Ir. Soekarno secara seremonial menancapkan pasak beton pertama. Total 284 pasak beton digunakan sebagai fondasi bangunan. Sebanyak 360 pasak bumi ditanamkan untuk fondasi museum sejarah nasional. Keseluruhan pemancangan fondasi rampung pada bulan Maret 1962. Dinding museum di dasar bangunan selesai pada bulan Oktober. Pembangunan obelisk kemudian dimulai dan akhirnya rampung pada bulan Agustus 1963.

Pembangunan tahap kedua berlangsung pada kurun 1966 hingga 1968 akibat terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G-30-S/PKI) dan upaya kudeta, tahap ini sempat tertunda. Tahap akhir berlangsung pada tahun 1969-1976 dengan menambahkan diorama pada museum sejarah. Meskipun pembangunan telah rampung, masalah masih saja terjadi, antara lain kebocoran air yang menggenangi museum. Monumen secara resmi dibuka untuk umum dan diresmikan pada tanggal 12 Juli 1975 oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto. Lokasi pembangunan monumen ini dikenal dengan nama Medan Merdeka. Lapangan Monas mengalami lima kali penggantian nama yaitu Lapangan Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas.

Tujuan dari dibuatnya tugu setinggi 132 meter (433 kaki) itu yakni untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Oleh sebab itulah Tugu Monas dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala. Dengan begitu dapat membangkitkan serta menjadi inspirasi dan semangat patriotisme bagi generasi saat ini dan mendatang.

Struktur Bangunan Monas

Tugu Monas yang menjulang tinggi dan melambangkan lingga (alu atau anatan) yang penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Semua pelataran cawan melambangkan Yoni (lumbung). Alu dan lumbung merupakan alat rumah tangga yang terdapat hampir di setiap rumah penduduk pribumi Indonesia.

Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 Kilogram. Lidah api atau obor ini sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Pelataran puncak dengan luas 11x11 dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Arah ke selatan berdiri dengan kokoh dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil berserakan. Bila menoleh ke Barat membentang Bandara Soekarno-Hatta yang setiap waktu terlihat pesawat lepas landas.

Dari pelataran puncak, 17 m lagi ke atas, terdapat lidah api, terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dan berdiameter 6 m, terdiri dari 77 bagian yang disatukan.

Pelataran puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang berarti melambangkan Bangsa Indonesia agar dalam berjuang tidak pernah surut sepanjang masa. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 m dan ruang museum sejarah 8 m. Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45x45 m, merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).

Pengunjung kawasan Monas, yang akan menaiki pelataran tugu puncak Monas atau museum, dapat melalui pintu masuk di seputar plaza taman Medan Merdeka, di bagian utara Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kudanya, terbuat dari perunggu seberat 8 ton.

Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral Honores, Dr Mario Bross di Indonesia. Melalui terowongan yang berada 3 m di bawah taman dan jalan silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung ke tugu puncak Monas yang berpagar "Bambu Kuning".

Landasan dasar Monas setinggi 3 m, di bawahnya terdapat ruang museum sejarah perjuangan nasional dengan ukuran luas 80x80 m, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang.

Pada keempat sisi ruangan terdapat 12 jendela peragaan yang mengabdikan peristiwa sejak zaman kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Keseluruhan dinding, tiang dan lantai berlapis marmer. Selain itu, ruang kemerdekaan berbentuk amphitheater yang terletak di dalam cawan tugu Monas, menggambarkan atribut peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kemerdekaan RI, bendera merah putih dan lambang negara dan pintu gapura yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. (*)

Masjid Al Atiq, Sisa Kejayaan Sultan Ageng Tirtayasa 

Posisinya yang tersembunyi dengan arsitektur yang sederhana membuat Masjid Al Atiq seperti luput dari perhatian masyarakat. Di balik bentuknya yang sederhana, masjid ini termasuk salah satu masjid yang memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap perkembangan penyebaran agama Islam di Jakarta. Masjid ini juga dulu kerap  menjadi tempat pengungsingan warga dan pasukan Jayakarta yang tengah berperang melawan VOC Belanda.


Jika diperhatikan seksama, tidak ada yang istimewa dari masjid yang berada di tengah permukiman dan jauh dari jalan besar ini. Lokasinya yang tersembunyi dari keramaian membuat masjid ini tidak terkenal di kalangan masyarakat luas. Masjid ini beralamat di Jalan Masjid I Nomor 3, Kelurahan Kampung Melayu Besar, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.



Ketua Takmir Masjid Al Atiq, H Ichwan Rasidi mengaku, sebenarnya tidak ada yang tahu pasti kapan tepatnya masjid ini dibangun. Namun dari para sesepuh kampung dan risalah yang ada di masjid ini, meyakini bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1632 M atau 1053 H. Nama Al Atiq sendiri diberikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1970-an. Secara harafiah, Al Atiq memiliki makna tertua.

Pembangunan masjid ini diperkirakan bersamaan dengan pembangunan masjid di Banten dan Karang Ampel, Jawa Tengah di mana kedua masjid tersebut dibangun karena peran Sultan Maulana Hasanuddin.

"Pendiri masjid ini adalah pasukan Sultan Ageng Tirtayasa yang tengah berperang melawan VOC. Dulunya masjid ini dibangun sebagai tempat istirahat sultan," kisah Ichwan.


Masjid yang letaknya persis di tepi Kali Ciliwung ini pun menguatkan indikasi kebenaran cerita tersebut. Menurutnya, pada zaman dahulu pergerakan tentara selalu saja memanfaatkan sungai yang berfungsi sebagai transportasi atau sumber minum para tentara.



Saat ini, bentuk fisik masjid ini telah mengalami beberapa perubahan karena pernah dilakukan beberapa kali pemugaran. Seperti pada tiang penyangga yang berada di tengah masjid dulunya terbuat dari kayu jati, saat ini digantikan dengan beton berlapis keramik/marmer.


Perombakan juga dilakukan pada bangunan masjid, di mana masjid dibangun menjadi dua lantai yang lebih modern, sedangkan pernak pernik asli dari masjid telah diserahkan ke Museum Sejarah Jakarta.

Namun, pemugaran tidak dilakukan pada seluruh bagian masjid. Komponen masjid yang masih dipertahankan ialah trisula penunjuk arah kiblat yang terletak di puncak menara masjid. Bentuk menara pun masih sama dengan saat pertama kali dibangun, yaitu berupa limas.


Sebelum dilakukan pemugaran, terdapat dua buah makam pengurus pertama masjid ini. Makam yang letaknya berada persis di samping mimbar atau tempat berdirinya imam ini tidak diketahui nama pengurus yang dimaksud. Namun setelah pemugaran, kedua makam dipindahkan.


Masjid ini juga menyimpan kisah mistis yang menarik, yaitu adanya tongkat khatib ajaib yang terletak di mimbar masjid. Tongkat tersebut merupakan benda pusaka peninggalan masjid. Kabarnya, tongkat tersebut ampuh menyembuhkan penyakit lewat ramuan yang diracik dari serpihan kayu pada tongkat itu. Kini, pengerikan tongkat kayu tersebut sudah dilarang oleh para pengurus masjid.

Selasa, 03 April 2012

Silat Sabeni, Asli Tanahabang yang Hampir Punah

Silat yang merupakan bela diri asli Indonesia, sudah begitu lekat dengan masyarakat Betawi sejak ratusan tahun silam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya aliran-aliran silat yang tumbuh dan lahir dari tanah Betawi, seperti Beksi yang lahir di daerah Kebayoranlama atau silat Cingkrik dari Condet. Tanahabang pun menjadi tempat lahirnya satu aliran silat yang diberi nama, Sabeni. Namun, dari dua jenis aliran silat ini, silat Sabeni kini berada di ambang kepunahan.

Tokoh aliran silat Sabeni, Zul Bachtiar, mengakui, aliran silat Sabeni ini memang tak setenar ilmu silat lain yang ada di Betawi. Sebab, saat ini hanya satu perguruan atau padepokan silat Sabeni yang masih tersisa di Tanahabang. Itu pun hanya beranggotakan tak lebih dari 30 orang. "Dulu ada beberapa perguruan, itu pun diasuh oleh cucu-cucu H Sabeni, yakni Ramdhani Mustofa dan Taufik. Tapi sekarang cuma saya, yang lain udah pada bubar," jelas salah satu cucu H Sabeni ini.

Diceritakannya, aliran silat ini lahir pada awal abad ke 20. Pencipta aliran ini adalah H Sabeni yang merupakan jago silat Betawi dari Tanahabang, dekat dengan pasar Kambing. "Haji Sabeni mendapatkan ilmu silat dari dua orang berbeda, yakni H Suud dan H Mail, keduanya tokoh Tanahabang," katanya.

Aliran silat Sabeni memiliki kekhasan pada serangan pukulan dengan sontokon pada bagian punggung telapak tangan. Tak hanya itu, kuda-kuda aliran Sabeni pun lebih rendah antara kaki satu dan lainnya sedikit merapat.

Dalam jurus silat Sabeni ada 15 jurus dasar, yang terdiri dari jurus dasar 1, hingga jurus dasar 15. Keseluruhan jurus dasar yang ada, lanjut Zul Bachtiar, terfokus pada penyerangan. "Kaga ada istilah nunggu diserang lawan, tapi kita yang dahulu memulai serangan terhadap lawan," kata pria yang kini bermukim di Bogor dengan logat Betawinya yang masih kental.

Diakui Zul, minimnya penerus ajaran silat Sabeni, dikarenakan kurangnya minat generasi muda, khususnya generasi muda Betawi terhadap upaya pelestarian kebudayaan asli Betawi, termasuk pada kesenian bela diri silat. Seni bela diri silat ini, lanjut Zul, kalah pamor dengan jenis bela diri lain dari luar daerah atau pun luar negeri. "Usaha saya untuk terus mengajarkan ini juga, sebagai upaya pelestarian kesenian silat," tambahnya.

Padahal, katanya, ilmu silat Sabeni pernah tenar sekitar tahun 1940-an, di mana saat itu H Sabeni mengalahkan jagoan karate dan jagoan sumo asal Jepang dengan mudahnya. Hingga akhirnya banyak warga yang berguru ke H Sabeni, dan karena kesohorannya pun, nama H Sabeni diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Tanahabang, Jakarta Pusat.

H Sabeni wafat pada tahun 1945, jasadnya dimakamkan di Gang Kubur, Tanahabang yang berdekatan dengan rumahnya. Namun beberapa tahun kemudian, makam H Sabeni kemudian dipindahkan ke TPU Karet Bivak, Tanahabang. "Nggak ade yang tersisa dari H Sabeni, hanya sebuah makam yang terletak di Karet Bivak," kata Zul lagi.

Masjid Pekojan Saksi Persahabatan Indonesia-Arab

Bagi masyarakat yang melintas di sepanjang Jl Pekojan Raya, Tambora, Jakarta Barat mungkin banyak yang tidak tahu jika pada sisi sebelah kiri jalan tersebut terdapat sebuah masjid tua yang mengandung nilai sejarah tinggi. Ya, sebab masjid di pemukiman padat penduduk itu tidak hanya dikenal sebagai tempat penyebaran ajaran Islam saat zaman kolonial hingga saat ini, tapi juga sebagai saksi sejarah persahabatan bangsa Indonesia dengan bangsa Timur Tengah, khususnya Arab. Tak heran jika kawasan Pekojan tempat masjid itu berada sering disebut sebagai Kampung Arab.

Masjid berlantai dua seluas 300 meter persegi itu, memang tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan bangunan masjid lain pada umumnya. Bahkan, saat ini lantai satu pada masjid itu juga digunakan untuk tempat berjualan minyak wangi.

Habib Ahmad Assegaf (55) salah seorang yang dipercaya mengurus masjid tersebut menjelaskan, masjid yang berada di lokasi hunian padat penduduk tepatnya dekat Muara Angke itu dibangun sejak tahun 1214 H (1829) oleh pedagang berkebangsaan dari Yaman. Saat itu mereka memang tidak hanya melakukan aktivitas dagang semata, tapi juga sambil melakukan syiar Islam.

Kemudian diperluas oleh Syeikh Said Naum seorang kapiten Arab yang memiliki banyak kapal dagang dan tanah. “Jadi maksud dibangunnya masjid ini yang oleh warga sekitar kadang juga disebut Langgar Tinggi, adalah untuk melakukan syiar Islam bangsa Yaman yang datang ke Pekojan yang awalnya hanya berdagang,” ungkap Ahmad.

Ahmad menceritakan, saat pemerintahan kolonial Belanda, khusus bangsa Arab yang datang ke Batavia diwajibkan singgah ke Pekojan. Selanjutnya setelah itu baru diperbolehkan pergi ke tempat lain hingga akhirnya wilayah Pekojan boleh dikatakan menjadi tempat singgahnya bangsa Arab (Yaman Selatan) untuk berdagang sekaligus melakukan syiar Islam.

Saat ini keberadaan masjid masih terawat dengan baik dan lantai atas masih digunakan untuk tempat ibadah. Sedangkan lantai bawah yang dulunya digunakan untuk penginapan pedagang bangsa Arab yang saat itu selalu datang dalam jumlah sangat banyak, kini dijadikan sebagai tempat tinggal dan tempat usaha minyak wangi yang juga sudah berlangsung sejak pemerintahan kolonial Belanda.

“Makanya dulu boleh dibilang Pekojan merupakan tempat berkumpulnya para pedagang Arab. Dari dulu sampai sekarang Pekojan terkenal dengan sebutan Kampung Arab,” ujar Ahmad.

Namun, meski ada perubahan fungsi pada lantai bawah, Ahmad mengatakan warna dan bentuk masjid 90 persen masih asli. Itu bisa dilihat dari bahan baku kayunya yang terbuat dari kayu jati Belanda dan pondasi bangunan masjid yang berasal dari batu candi. Sedangkan arsitektur masjid berwarna dominan putih merupakan campuran antara unsur Cina, Portugis dan Arab.

Pengaruh Cina bisa dilihat dari beberapa ukiran di dinding masjid dan warna kayu yang aslinya berwarna merah seperti warna kelenteng. Pengaruh  Portugis terlihat dari pilar-pilar penopang dan pengaruh Arab dari pintu yang berbentuk elips. Namun, kondisi lingkungan yang kini rawan banjir membuat lantai satu masjid yang juga sebagai tempat mengambil air wudhu ditinggikan satu meter. Tapi, tetap tidak mengurangi fungsinya sebagai tempat syiar Islam sekaligus menyimpan kenangan persentuhan banga Arab dengan bangsa Indonesia, bahkan hingga ke jenjang pernikahan.

Jejak Ulama Banten di Barat Jakarta

Mungkin kita pernah dengar nama lapangan sepakbola Wijayakusuma atau nama kantor Kelurahan Wijayakusuma, di Kecamatan Grogolpetamburan, Jakarta Barat. Tapi, siapa sangka jika nama itu diambil dari nama seorang ulama besar dari Banten bernama, Pangeran Wijayakusuma.

Ya, nama Pangeran Wijayakusuma memang tidak pernah bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Jakarta. Tak heran, makamnya pun yang berlokasi di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Kampung Gusti, Kelurahan Wijayakusuma, Kecamatan Grogolpetamburan, itu tetap terjaga dan dijadikan benda cagar budaya oleh Pemprov DKI.

Handoyo (60) juru kunci yang merupakan generasi ketiga penjaga makam tersebut, mengatakan Pangeran Wijayakusuma pada masanya dikenal sebagai seorang ulama yang disegani. Ia juga merupakan penasihat dan panglima perang pada masa kejayaan Pangeran Jayakarta, Wijayakrama, sekitar abad ke-17 yang berjuang melawan Belanda (VOC) di Batavia. Menurutnya, nama Wijayakusuma sendiri diambil dari bahasa Jawa, Wijaya berarti kemenangan dan Kusuma artinya kembang. Sehingga jika diartikan Wijayakusuma yaitu sebagai, Kembang Kemenangan.

“Riwayat Pangeran Wijayakusuma sampai saat ini masih samar karena belum ada keterangan yang pasti. Namun yang saya tahu Pangeran Wijayakusuma dulunya merupakan ulama yang sangat disegani, sekaligus penasehat dan panglima perang pada masa kejayaan Pangeran Jayakarta,” ungkap Handoyo.

Sudin Kebudayaan Jakarta Barat, mencatat Pangeran Wijayakusuma adalah pangeran dari Banten yang datang pada saat Jayakarta di bawah kekuasaan, Wijayakrama, atas perintah Sultan Banten, Maulana Yusuf. Penugasan ini terkait isu, Pangeran Jayakarta, Wijayakrama telah bekerja sama dengan Belanda dalam pengelolaan tanah.“Atas perintah Sultan Banten, Maulana Yusuf, Wijayakrama ditarik kembali ke Banten,” tambah Taufik Ahmad, Kasudin Kebudayaan Jakarta Barat.

Selanjutnya, posisi Pangeran Jayakarta, Wijayakrama, digantikan oleh putranya, Pangeran Ahmad Jakerta. Namun karena usianya masih dianggap terlalu muda untuk mengatur roda pemerintahan, ia selalu didampingi Pangeran Wijayakusuma meski saat itu perselisihan antara Belanda dengan pemerintah yang dipimpin oleh Pangeran Ahmad Jakerta terus berlangsung.

Namun, mengingat usia Pangeran Wijayakusuma sudah semakin lanjut, ia tidak dapat lagi mendampingi Pangeran Ahmad Jakerta secara langsung, hingga akhirnya Pangeran Wijayakusuma memisahkan diri dan mundur ke arah barat ke daerah Jelambar hingga wafat dan dimakamkan di daerah yang sekarang dikenal sebagai makam Pangeran Wijayakusuma yang berada di Kampung Gusti, Jelambar, Jakarta Barat.

“Jadi sampai saat ini hanya sebatas data tersebut yang kami miliki. Tapi karena ketokohannya, setiap ulang tahun kota Jakarta, lokasi makam tersebut jadi tempat ziarah jajaran Pemkot Jakarta Barat,” terang Taufik.

Ia menambahkan, makam tersebut oleh Pemprov DKI Jakarta sudah tiga kali dipugar. Pertama Juni 1968, kemudian Juli 1989 dan tahun 2003 oleh mantan Walikota Jakarta Barat, Sarimun Hadisaputra yang kemudian diresmikan tanggal 21 Juni 2004. 

Melongok Sejarah Masjid Kampung Bandan

Beragam peninggalan bangunan bersejarah banyak terdapat di Jakarta. Hal ini tidak lepas dari Kota Jakarta yang sejak dahulu memang dikenal sebagai pusat pemerintahan dan memiliki nilai sejarah yang penting dalam sejarah panjang perjalanan nusantara. Salah satu peninggalan bangunan bersejarah itu yakni, Masjid Al Mukarromah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Keramat Kampung Bandan di Jl Lodan Raya 99, Kampung Bandan, Ancol, Jakarta Utara.

Dalam bahasa Arab, nama masjid ini memiliki arti mulia atau yang dimuliakan. Masjid ini sendiri didirikan oleh Habib Abdurrahman bin Alwi Asy-Syahtiri pada tahun 1879. Masjid ini, kini telah berusia 132 tahun.

Yang menjadi daya tarik para pengunjung mengunjungi masjid ini yakni, terdapat tiga makam ulama besar yang sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk syiar agama Islam. Ketiga makam itu terdiri dari makam Habib Mohammad bin Umar Alkudsi, Habib Ali Abdurrahman Ba’alwi dan Habib Abdurrahman bin Alwi Asy-Syathri. Bahkan kabarnya, ketiga makam ini merupakan makan tertua yang berada di Jakarta.

Adapun awal mula berdirinya masjid ini, yakni bermula ketika Habib Abdurrahman yang merupakan seorang pedagang, berkunjung ke kediaman ulama yakni Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas di daerah Empang, Bogor sekitar tahun 1870.

Kedatangan Habib Abdurrahman kepada Habib Abdullah saat itu tidak lain untuk mengadukan masalah usaha dagangannya. Sesampainya di sana, Habib Abdullah justru memberikan tugas kepadanya untuk menelusuri dua makam ulama besar yang ada di Batavia. "Bila sudah ditemukan, Habib Abdurrahman diperintahkan memeliharanya dan mendirikan tempat ibadah di dekat makam tersebut," kata Habib Alwi, pengurus Masjid Keramat Kampung Bandan.

Dijelaskannya, kedua makam itu adalah para wali Allah. Semasa hidupnya, mereka berdakwah dan menyebarkan syiar Islam di tengah-tengah perkampungan para budak dari Banda yang terzalimi ulah jahat penjajah. "Keduanya terlibat dalam pemberontakan kepada VOC di tahun 1682,” katanya.

Hingga akhirnya Habib Abdurrahman menemukan dua makam yang berdampingan di Kampung Bandan. Habib Abdullah pun membenarkan bahwa kedua makam itu merupakan dua ulama yang dicarinya. Kemudian, Habib Abdurrahman memelihara makam tersebut dan meneruskan menyebarkan ajaran agama Islam di Jakarta. Habib Abdurrahman juga membeli tanah itu dan ia langsung mendirikan semacam tempat persinggahan untuk berteduh dan tempat shalat bagi para peziarah. "Semakin banyaknya peziarah yang datang, di tahun 1879 Habib Abdurrahman akhirnya mendirikan surau atau mushola di Kampung Bandan," kata Alwi.

Pada tahun 1908, Habib Abdurrahman wafat dan kepengurusan Mushola Kampung Bandan diserahkan kepada putranya, Habib Alwi bin Abdurrahman Asy-Syathiri hingga akhirnya mushola itu dikembangkan menjadi bangunan masjid pada tahun 1913 dan rampung di tahun 1917.

Setelah selesai dibangun, di tahun 1949 masjid itu oleh Habib Alwi dinamakan Masjid Jami Al Mukkaromah. "Namun, hingga kini masyarakat dan peziarah lebih mengenal masjid ini sebagai Masjid Keramat Kampung Bandan," tuturnya.

Menurtu Alwi, hingga kini, yang menjadi daya tarik para peziarah di Masjid Keramat Kampung Bandan, adanya tiga makam ulama besar yang dimakamkan di dekat masjid tersebut. "Saya sendiri sudah 13 tahun jadi pengurus masjid, dan kini mendapat amanat untuk memelihara kelangsungan masjid ini," kata Alwi.

Pada tahun 1972, Pemprov DKI Jakarta memasukkan Masjid Keramat Kampung Bandan menjadi salah satu cagar budaya yang bangunannya harus dilindungi. Sejak saat itu, masjid ini setiap satu dasawarsa dipugar agar tetap terjaga kelestariannya. "Masjid Keramat Kampung Bandan pernah mengalami tiga kali pemugaran, yaitu tahun 1979-1980, kemudian 1989-1990, dan yang terakhir 2000-2001. Dana pemugaran itu berasal dari Pemprov DKI Jakarta," katanya.

Adapun tanah yang diwariskan Habib Abdurrahman ini, sejak tahun 1970-an sudah banyak digarap warga pendatang dan dijadikan tempat tinggal. "Saat ini yang tertinggal hanya 30 persen, dan sisanya 70 persen dijadikan lahan pemukiman warga. Karena itu, pada tahun 1998 kami mengusulkan kepada Pemprov DKI Jakarta agar membangun tembok pembatas di sekeliling area masjid yang ditetapkan sebagai cagar budaya ini. Usulan itu akhirnya terealisasi di tahun 2000," ungkapnya.

Selain memiliki sejarah yang panjang, Masjid Keramat Kampung Bandan juga memiliki sejumlah keunikan, di antaranya terdapat sebuah pohon kurma yang berbuah manis disaat bulan Ramadhan yang terdapat di halaman masjid serta sumur tua dengan rasa airnya seperti air zamzam yang diyakini mujarab dapat menyembuhkan berbagai penyakit. "Buah kurma dan air sumur itu digunakan untuk obat. Biasanya orang yang melakukan ziarah akan meminta air sumur kepada pengurus makam sebagai oleh-oleh sepulangnya berziarah," tandasnya.

Selasa, 29 November 2011

Silat Seliwa Jurus Tujuh dari Bambularangan

Bagi masyarakat Betawi belajar silat adalah kewajiban kedua setelah belajar mengaji yang harus dipelajari sejak masa kanak-kanak. Tak heran, ilmu silat pun berkembang di tanah Betawi dengan beragam jenisnya, mulai dari Silat Cingkrik, Silat Beksi hingga Silat Seliwa dari Bambularangan, Kalideres, Jakarta Barat. Namun, tak banyak yang tahu jika Silat Seliwa dipopulerkan oleh almarhum Haji Sama’ bin Saleh.

Konon kabarnya, Haji Sama bin Saleh ini juga keturunan langsung dari pendiri kampung Bambularangan. Beliau mewarisi aliran silat ini dari gurunya Ki Muhatim yang berasal dari kampung Gondrong, Tangerang. Tidak hanya itu, orangtua Haji Sama` adalah orang terpandang yang juga jago pukul (ahli silat) pada zamannya.

Semasa Ki Saleh masih hidup, Haji Sama` yang saat itu masih remaja bisa melakukan dan mendapatkan apa saja yang dia inginkan, tentunya karena orang sungkan terhadap kebesaran nama bapaknya. “Telunjuk gua laku, apa nyang gue pengenin gua tinggal nunjuk," ujar Haji Sama` seperti diceritakan Adam Moeslih salah satu keturunan yang masih kerabat dekat Haji Sama` kepada beritajakarta.com di pelataran halaman kantor Walikota Jakarta Barat.
Petaka datang ketika sang ayah yang dibanggakannya meninggal dunia. Haji Sama` merasa orang sudah tidak lagi “memandang” dia. Karena peristiwa itu, Haji Sama` mulai sadar jika dia ingin disegani orang, maka dia juga harus sehebat ayahnya. Maka dengan membayar dua pikul dongkrak gabah cere dan gabah ketan sebagai jaminan, dia mengajukan diri berguru kepada Ki Muhatim, guru Silat Betawi Jurus Tujuh. Belajar pukul dilakukan di pelataran rumah Haji Jibi, sebuah rumah kebaya berundak dua yang menghadap utara, di halamannya tumbuh sebatang pohon Maja. Haji Sama` bin Saleh adalah murid yang cekatan dan berani, sehingga dengan mudah ia menyerap jurus-jurus yang diajarkan sang guru.

Di samping belajar pukul, Haji Sama` juga belajar “elmu”. Di antaranya adalah Elmu Pelamuran, konon ilmu dalem ini dimiliki juga oleh Mat Item, raja garong dari Srengseng yang tewas ditembak pasukan dari Batalion Kala Hitam atas petunjuk Ki Medo tokoh masyarakat setempat di anak kali Mookervart, Kampung Duri, setelah diburu selama tiga bulan. Satu lagi ilmu yang dikuasai Haji Sama` bin Saleh adalah Elmu Kebal Aer Keras.

Kehebatan pukul Silat Seliwa jurus tujuh pernah digunakan Haji Sama` ketika dia menerima tantangan Lurah Kosambi untuk bejaban (adu tanding). “Kepelannya segede gayung, kalo kita ampe kepukul, kita bisa kaga kena nasi tiga ari," begitu Adam menuturkan kisah Haji Sama` dengan logat Betawinya yang kental.

Jurus Seliwa peninggalan Haji Sama` di antaranya, Jurus Nampan Duit, Jurus Sosot, Jurus Ketok, Jurus Gecek, Jurus Berarak Miring, Jurus Berarak Rendah, dan Jurus Sambat.

Kini, Haji Sama` telah meninggal dunia, dan tidak semua keahlian pukul Betawi serta yang dikuasainya sempat diwariskan kepada kerabatnya. Karena sampai wafat 2 Januari 2006 silam di usia menjelang 70 tahun, Haji Sama` tidak memiliki keturunan. "Kini Silat Seliwa Jurus Tujuh sudah sedikit sekali yang masih menghapalnya, mungkin begitulah akhir dari perguruan silat yang ditinggal mati guru besarnya, lama-lama meredup dan dilupakan orang," ungkap Adam.