Selasa, 12 Oktober 2010
Pantun Betawi Gak Ade Matinye
Anak Arab pulang ke Arab, Sampe di Arab maen robane, Susa duduk susa tengkurap, Berak mencret dalem celane. Beberapa bait pantun di atas merupakan kutipan dari Lagu Pesisiran, Puisi-Puisi Betawi karya budayawan Betawi, Ridwan Saidi. Ya, pantun merupakan kebudayaan Betawi yang diyakini ada sejak ribuan tahun lalu.
Pada tahun 1930 hingga 1950, pantun digunakan sebagai potret sosial masyarakat atau ungkapan isi hati. Di tahun 50-an, banyak bermunculan penyair Betawi, di antaranya Susi Aminah Aziz, Tuti Alawiyah. Kemudian, generasi berikutnya seperti Ridwan Saidi, Zeffry Alkatiri, Nur Zaen Hae, Ihsan Abdul Salam, Aba Mardjani.
Saat ini pantun Betawi masih terdengar di beberapa wilayah Jakarta, meliputi permukiman masyarakat Betawi yang mulai terpinggirkan seperti, Kerawang, Bekasi, Depok serta Tanggerang, disamping daerah lain di Jakarta seperti Marunda, Tanahabang, Condet, Pasarminggu, Rawabelong, Kebonjeruk, dan perkampungan Betawi di Jagakarsa.
Penggunaan pantun di masyarakat Betawi masih banyak digunakaan saat acara pinangan adat Betawi, lagu khas Betawi, termasuk beberapa lagu balada yang dinyanyikan seniman tersohor Betawi, Alharhum Benyamin Sueb.
Seniman Betawi asal Kemayoran, Rachmad Hadi, mengaku, pantun Betawi memiliki ciri ataupun corak yang tak dimiliki daerah lain, yaitu menggunakan bahasa Betawi dan isinya berkaitan dengan kehidupan masyarakat Betawi, mulai dari adat istiadat, agama, tingkah laku, dan keadaan alam Betawi.
Berkenaan dengan isi pantun, sejumlah besar isi pantun Betawi mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab, sopan santun, dan ajaran-ajaran agama, juga begitu banyak kritik sosial. Jadi peristiwa apa pun, termasuk penyampaian pesan dalam diri, dapat disampaikan secara lepas.
Pantun dalam adat Betawi erat kaitannya sebagai penyampaian pesan dalam peradapan masyarakat sekitar. Hal ini dapat dilihat dalam pantun yang disampaikan secara berbalas saat acara pernikahan masyarakat asli Betawi. Pantun yang disampaikan secara berbalas, lanjut Rachmad, memiliki tujuan dan maksud yang ingin disampaikan.
Sebagai contoh, pantun berbalas seperti, "Kude lumping dari Tangerang, kedipin mate cari menantu, pasang kuping lu terang-terang, adepin dulu jago gue satu-per satu". Pantun itu sebagai syarat yang diajukan oleh mempelai wanita dalam menerima pihak mempelai pria. Bisa nggak mempelai pria menerima syarat itu.
Biasanya mempelai pria akan membalas pantun dengan bunyi, "Bintang seawan-awan, aye itungin beribu satu, berape banyak Abang punya jagoan, aye bakal adepin satu per satu". Ini menunjukan mempelai pria menyanggupi syarat meski nyawa jadi taruhannya.
Dijelaskan Rachmad, masuknya pantun ke Betawi dibawa oleh pedagang Gujarat pada abad ke 15. Saat itu, pantun masih bernafaskan Islami dan mengandung kaidah-kaidah atau nasihat keagamaan. Barulah pada abad ke-17 hingga ke-18, orang Melayu yang datang ke Betawi memperkaya khasanah pantun menjadi sebuah syair ungkapan isi hati.
Selama ratusan tahun berbaur dengan masyarakat asli Betawi, akhirnya pantun menjadi sebuah penyampaian karakter masyarakat Betawi, dengan memodifikasi syair berbahasa betawi yang terkesan cuek dan apa adanya. Hingga setelah kemerdekaan, banyak bermunculan seniman Betawi yang membawa perubahan isi pantun dengan gaya khas penyampaian masyarakat Betawi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar