Selasa, 03 April 2012

Silat Sabeni, Asli Tanahabang yang Hampir Punah

Silat yang merupakan bela diri asli Indonesia, sudah begitu lekat dengan masyarakat Betawi sejak ratusan tahun silam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya aliran-aliran silat yang tumbuh dan lahir dari tanah Betawi, seperti Beksi yang lahir di daerah Kebayoranlama atau silat Cingkrik dari Condet. Tanahabang pun menjadi tempat lahirnya satu aliran silat yang diberi nama, Sabeni. Namun, dari dua jenis aliran silat ini, silat Sabeni kini berada di ambang kepunahan.

Tokoh aliran silat Sabeni, Zul Bachtiar, mengakui, aliran silat Sabeni ini memang tak setenar ilmu silat lain yang ada di Betawi. Sebab, saat ini hanya satu perguruan atau padepokan silat Sabeni yang masih tersisa di Tanahabang. Itu pun hanya beranggotakan tak lebih dari 30 orang. "Dulu ada beberapa perguruan, itu pun diasuh oleh cucu-cucu H Sabeni, yakni Ramdhani Mustofa dan Taufik. Tapi sekarang cuma saya, yang lain udah pada bubar," jelas salah satu cucu H Sabeni ini.

Diceritakannya, aliran silat ini lahir pada awal abad ke 20. Pencipta aliran ini adalah H Sabeni yang merupakan jago silat Betawi dari Tanahabang, dekat dengan pasar Kambing. "Haji Sabeni mendapatkan ilmu silat dari dua orang berbeda, yakni H Suud dan H Mail, keduanya tokoh Tanahabang," katanya.

Aliran silat Sabeni memiliki kekhasan pada serangan pukulan dengan sontokon pada bagian punggung telapak tangan. Tak hanya itu, kuda-kuda aliran Sabeni pun lebih rendah antara kaki satu dan lainnya sedikit merapat.

Dalam jurus silat Sabeni ada 15 jurus dasar, yang terdiri dari jurus dasar 1, hingga jurus dasar 15. Keseluruhan jurus dasar yang ada, lanjut Zul Bachtiar, terfokus pada penyerangan. "Kaga ada istilah nunggu diserang lawan, tapi kita yang dahulu memulai serangan terhadap lawan," kata pria yang kini bermukim di Bogor dengan logat Betawinya yang masih kental.

Diakui Zul, minimnya penerus ajaran silat Sabeni, dikarenakan kurangnya minat generasi muda, khususnya generasi muda Betawi terhadap upaya pelestarian kebudayaan asli Betawi, termasuk pada kesenian bela diri silat. Seni bela diri silat ini, lanjut Zul, kalah pamor dengan jenis bela diri lain dari luar daerah atau pun luar negeri. "Usaha saya untuk terus mengajarkan ini juga, sebagai upaya pelestarian kesenian silat," tambahnya.

Padahal, katanya, ilmu silat Sabeni pernah tenar sekitar tahun 1940-an, di mana saat itu H Sabeni mengalahkan jagoan karate dan jagoan sumo asal Jepang dengan mudahnya. Hingga akhirnya banyak warga yang berguru ke H Sabeni, dan karena kesohorannya pun, nama H Sabeni diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Tanahabang, Jakarta Pusat.

H Sabeni wafat pada tahun 1945, jasadnya dimakamkan di Gang Kubur, Tanahabang yang berdekatan dengan rumahnya. Namun beberapa tahun kemudian, makam H Sabeni kemudian dipindahkan ke TPU Karet Bivak, Tanahabang. "Nggak ade yang tersisa dari H Sabeni, hanya sebuah makam yang terletak di Karet Bivak," kata Zul lagi.

Masjid Pekojan Saksi Persahabatan Indonesia-Arab

Bagi masyarakat yang melintas di sepanjang Jl Pekojan Raya, Tambora, Jakarta Barat mungkin banyak yang tidak tahu jika pada sisi sebelah kiri jalan tersebut terdapat sebuah masjid tua yang mengandung nilai sejarah tinggi. Ya, sebab masjid di pemukiman padat penduduk itu tidak hanya dikenal sebagai tempat penyebaran ajaran Islam saat zaman kolonial hingga saat ini, tapi juga sebagai saksi sejarah persahabatan bangsa Indonesia dengan bangsa Timur Tengah, khususnya Arab. Tak heran jika kawasan Pekojan tempat masjid itu berada sering disebut sebagai Kampung Arab.

Masjid berlantai dua seluas 300 meter persegi itu, memang tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan bangunan masjid lain pada umumnya. Bahkan, saat ini lantai satu pada masjid itu juga digunakan untuk tempat berjualan minyak wangi.

Habib Ahmad Assegaf (55) salah seorang yang dipercaya mengurus masjid tersebut menjelaskan, masjid yang berada di lokasi hunian padat penduduk tepatnya dekat Muara Angke itu dibangun sejak tahun 1214 H (1829) oleh pedagang berkebangsaan dari Yaman. Saat itu mereka memang tidak hanya melakukan aktivitas dagang semata, tapi juga sambil melakukan syiar Islam.

Kemudian diperluas oleh Syeikh Said Naum seorang kapiten Arab yang memiliki banyak kapal dagang dan tanah. “Jadi maksud dibangunnya masjid ini yang oleh warga sekitar kadang juga disebut Langgar Tinggi, adalah untuk melakukan syiar Islam bangsa Yaman yang datang ke Pekojan yang awalnya hanya berdagang,” ungkap Ahmad.

Ahmad menceritakan, saat pemerintahan kolonial Belanda, khusus bangsa Arab yang datang ke Batavia diwajibkan singgah ke Pekojan. Selanjutnya setelah itu baru diperbolehkan pergi ke tempat lain hingga akhirnya wilayah Pekojan boleh dikatakan menjadi tempat singgahnya bangsa Arab (Yaman Selatan) untuk berdagang sekaligus melakukan syiar Islam.

Saat ini keberadaan masjid masih terawat dengan baik dan lantai atas masih digunakan untuk tempat ibadah. Sedangkan lantai bawah yang dulunya digunakan untuk penginapan pedagang bangsa Arab yang saat itu selalu datang dalam jumlah sangat banyak, kini dijadikan sebagai tempat tinggal dan tempat usaha minyak wangi yang juga sudah berlangsung sejak pemerintahan kolonial Belanda.

“Makanya dulu boleh dibilang Pekojan merupakan tempat berkumpulnya para pedagang Arab. Dari dulu sampai sekarang Pekojan terkenal dengan sebutan Kampung Arab,” ujar Ahmad.

Namun, meski ada perubahan fungsi pada lantai bawah, Ahmad mengatakan warna dan bentuk masjid 90 persen masih asli. Itu bisa dilihat dari bahan baku kayunya yang terbuat dari kayu jati Belanda dan pondasi bangunan masjid yang berasal dari batu candi. Sedangkan arsitektur masjid berwarna dominan putih merupakan campuran antara unsur Cina, Portugis dan Arab.

Pengaruh Cina bisa dilihat dari beberapa ukiran di dinding masjid dan warna kayu yang aslinya berwarna merah seperti warna kelenteng. Pengaruh  Portugis terlihat dari pilar-pilar penopang dan pengaruh Arab dari pintu yang berbentuk elips. Namun, kondisi lingkungan yang kini rawan banjir membuat lantai satu masjid yang juga sebagai tempat mengambil air wudhu ditinggikan satu meter. Tapi, tetap tidak mengurangi fungsinya sebagai tempat syiar Islam sekaligus menyimpan kenangan persentuhan banga Arab dengan bangsa Indonesia, bahkan hingga ke jenjang pernikahan.

Jejak Ulama Banten di Barat Jakarta

Mungkin kita pernah dengar nama lapangan sepakbola Wijayakusuma atau nama kantor Kelurahan Wijayakusuma, di Kecamatan Grogolpetamburan, Jakarta Barat. Tapi, siapa sangka jika nama itu diambil dari nama seorang ulama besar dari Banten bernama, Pangeran Wijayakusuma.

Ya, nama Pangeran Wijayakusuma memang tidak pernah bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Jakarta. Tak heran, makamnya pun yang berlokasi di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Kampung Gusti, Kelurahan Wijayakusuma, Kecamatan Grogolpetamburan, itu tetap terjaga dan dijadikan benda cagar budaya oleh Pemprov DKI.

Handoyo (60) juru kunci yang merupakan generasi ketiga penjaga makam tersebut, mengatakan Pangeran Wijayakusuma pada masanya dikenal sebagai seorang ulama yang disegani. Ia juga merupakan penasihat dan panglima perang pada masa kejayaan Pangeran Jayakarta, Wijayakrama, sekitar abad ke-17 yang berjuang melawan Belanda (VOC) di Batavia. Menurutnya, nama Wijayakusuma sendiri diambil dari bahasa Jawa, Wijaya berarti kemenangan dan Kusuma artinya kembang. Sehingga jika diartikan Wijayakusuma yaitu sebagai, Kembang Kemenangan.

“Riwayat Pangeran Wijayakusuma sampai saat ini masih samar karena belum ada keterangan yang pasti. Namun yang saya tahu Pangeran Wijayakusuma dulunya merupakan ulama yang sangat disegani, sekaligus penasehat dan panglima perang pada masa kejayaan Pangeran Jayakarta,” ungkap Handoyo.

Sudin Kebudayaan Jakarta Barat, mencatat Pangeran Wijayakusuma adalah pangeran dari Banten yang datang pada saat Jayakarta di bawah kekuasaan, Wijayakrama, atas perintah Sultan Banten, Maulana Yusuf. Penugasan ini terkait isu, Pangeran Jayakarta, Wijayakrama telah bekerja sama dengan Belanda dalam pengelolaan tanah.“Atas perintah Sultan Banten, Maulana Yusuf, Wijayakrama ditarik kembali ke Banten,” tambah Taufik Ahmad, Kasudin Kebudayaan Jakarta Barat.

Selanjutnya, posisi Pangeran Jayakarta, Wijayakrama, digantikan oleh putranya, Pangeran Ahmad Jakerta. Namun karena usianya masih dianggap terlalu muda untuk mengatur roda pemerintahan, ia selalu didampingi Pangeran Wijayakusuma meski saat itu perselisihan antara Belanda dengan pemerintah yang dipimpin oleh Pangeran Ahmad Jakerta terus berlangsung.

Namun, mengingat usia Pangeran Wijayakusuma sudah semakin lanjut, ia tidak dapat lagi mendampingi Pangeran Ahmad Jakerta secara langsung, hingga akhirnya Pangeran Wijayakusuma memisahkan diri dan mundur ke arah barat ke daerah Jelambar hingga wafat dan dimakamkan di daerah yang sekarang dikenal sebagai makam Pangeran Wijayakusuma yang berada di Kampung Gusti, Jelambar, Jakarta Barat.

“Jadi sampai saat ini hanya sebatas data tersebut yang kami miliki. Tapi karena ketokohannya, setiap ulang tahun kota Jakarta, lokasi makam tersebut jadi tempat ziarah jajaran Pemkot Jakarta Barat,” terang Taufik.

Ia menambahkan, makam tersebut oleh Pemprov DKI Jakarta sudah tiga kali dipugar. Pertama Juni 1968, kemudian Juli 1989 dan tahun 2003 oleh mantan Walikota Jakarta Barat, Sarimun Hadisaputra yang kemudian diresmikan tanggal 21 Juni 2004. 

Melongok Sejarah Masjid Kampung Bandan

Beragam peninggalan bangunan bersejarah banyak terdapat di Jakarta. Hal ini tidak lepas dari Kota Jakarta yang sejak dahulu memang dikenal sebagai pusat pemerintahan dan memiliki nilai sejarah yang penting dalam sejarah panjang perjalanan nusantara. Salah satu peninggalan bangunan bersejarah itu yakni, Masjid Al Mukarromah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Keramat Kampung Bandan di Jl Lodan Raya 99, Kampung Bandan, Ancol, Jakarta Utara.

Dalam bahasa Arab, nama masjid ini memiliki arti mulia atau yang dimuliakan. Masjid ini sendiri didirikan oleh Habib Abdurrahman bin Alwi Asy-Syahtiri pada tahun 1879. Masjid ini, kini telah berusia 132 tahun.

Yang menjadi daya tarik para pengunjung mengunjungi masjid ini yakni, terdapat tiga makam ulama besar yang sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk syiar agama Islam. Ketiga makam itu terdiri dari makam Habib Mohammad bin Umar Alkudsi, Habib Ali Abdurrahman Ba’alwi dan Habib Abdurrahman bin Alwi Asy-Syathri. Bahkan kabarnya, ketiga makam ini merupakan makan tertua yang berada di Jakarta.

Adapun awal mula berdirinya masjid ini, yakni bermula ketika Habib Abdurrahman yang merupakan seorang pedagang, berkunjung ke kediaman ulama yakni Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas di daerah Empang, Bogor sekitar tahun 1870.

Kedatangan Habib Abdurrahman kepada Habib Abdullah saat itu tidak lain untuk mengadukan masalah usaha dagangannya. Sesampainya di sana, Habib Abdullah justru memberikan tugas kepadanya untuk menelusuri dua makam ulama besar yang ada di Batavia. "Bila sudah ditemukan, Habib Abdurrahman diperintahkan memeliharanya dan mendirikan tempat ibadah di dekat makam tersebut," kata Habib Alwi, pengurus Masjid Keramat Kampung Bandan.

Dijelaskannya, kedua makam itu adalah para wali Allah. Semasa hidupnya, mereka berdakwah dan menyebarkan syiar Islam di tengah-tengah perkampungan para budak dari Banda yang terzalimi ulah jahat penjajah. "Keduanya terlibat dalam pemberontakan kepada VOC di tahun 1682,” katanya.

Hingga akhirnya Habib Abdurrahman menemukan dua makam yang berdampingan di Kampung Bandan. Habib Abdullah pun membenarkan bahwa kedua makam itu merupakan dua ulama yang dicarinya. Kemudian, Habib Abdurrahman memelihara makam tersebut dan meneruskan menyebarkan ajaran agama Islam di Jakarta. Habib Abdurrahman juga membeli tanah itu dan ia langsung mendirikan semacam tempat persinggahan untuk berteduh dan tempat shalat bagi para peziarah. "Semakin banyaknya peziarah yang datang, di tahun 1879 Habib Abdurrahman akhirnya mendirikan surau atau mushola di Kampung Bandan," kata Alwi.

Pada tahun 1908, Habib Abdurrahman wafat dan kepengurusan Mushola Kampung Bandan diserahkan kepada putranya, Habib Alwi bin Abdurrahman Asy-Syathiri hingga akhirnya mushola itu dikembangkan menjadi bangunan masjid pada tahun 1913 dan rampung di tahun 1917.

Setelah selesai dibangun, di tahun 1949 masjid itu oleh Habib Alwi dinamakan Masjid Jami Al Mukkaromah. "Namun, hingga kini masyarakat dan peziarah lebih mengenal masjid ini sebagai Masjid Keramat Kampung Bandan," tuturnya.

Menurtu Alwi, hingga kini, yang menjadi daya tarik para peziarah di Masjid Keramat Kampung Bandan, adanya tiga makam ulama besar yang dimakamkan di dekat masjid tersebut. "Saya sendiri sudah 13 tahun jadi pengurus masjid, dan kini mendapat amanat untuk memelihara kelangsungan masjid ini," kata Alwi.

Pada tahun 1972, Pemprov DKI Jakarta memasukkan Masjid Keramat Kampung Bandan menjadi salah satu cagar budaya yang bangunannya harus dilindungi. Sejak saat itu, masjid ini setiap satu dasawarsa dipugar agar tetap terjaga kelestariannya. "Masjid Keramat Kampung Bandan pernah mengalami tiga kali pemugaran, yaitu tahun 1979-1980, kemudian 1989-1990, dan yang terakhir 2000-2001. Dana pemugaran itu berasal dari Pemprov DKI Jakarta," katanya.

Adapun tanah yang diwariskan Habib Abdurrahman ini, sejak tahun 1970-an sudah banyak digarap warga pendatang dan dijadikan tempat tinggal. "Saat ini yang tertinggal hanya 30 persen, dan sisanya 70 persen dijadikan lahan pemukiman warga. Karena itu, pada tahun 1998 kami mengusulkan kepada Pemprov DKI Jakarta agar membangun tembok pembatas di sekeliling area masjid yang ditetapkan sebagai cagar budaya ini. Usulan itu akhirnya terealisasi di tahun 2000," ungkapnya.

Selain memiliki sejarah yang panjang, Masjid Keramat Kampung Bandan juga memiliki sejumlah keunikan, di antaranya terdapat sebuah pohon kurma yang berbuah manis disaat bulan Ramadhan yang terdapat di halaman masjid serta sumur tua dengan rasa airnya seperti air zamzam yang diyakini mujarab dapat menyembuhkan berbagai penyakit. "Buah kurma dan air sumur itu digunakan untuk obat. Biasanya orang yang melakukan ziarah akan meminta air sumur kepada pengurus makam sebagai oleh-oleh sepulangnya berziarah," tandasnya.